Monday, July 22, 2019


MANAJEMEN PENDIDIKAN BERSEKOLAH


                   Pendidikan karakter merupakan sebuah istilah yang semakin hari semakin mendapatkan pengakuan dari masyarakat pengakuan dari masyarakat indonesia saat ini terlebih dahulu dengan dirasakannya berbagai ketimpang hasil pendidikan dilihat dari perilaku formal saat ini, semisal korupsi, perkembangan seks bebas pada kalangan remaja. Narkoba, tawuran, pembunuhan, dan perampokan oleh pelajar.
Pendidikan karakter itu sebenarnya bukan erupakan suatu hal yang baru bagi masyarakat indonesia. Bahkan awal kemerdekaan, masa orde baru, masa orde lama, dan kini masa orde reformasi telah banyak langkah-langkah yang sudah dilakukan dalam rangka pendidikan karakter dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda. Dalam UU tenang pendidikan nasional Yang pertama kali, ialah UU 1964 yang berlaku tahun 1947 hingga UU sisdiknas nomor 20 tahun 2003 yang terakhir pendidikan karakter telah ada, namun belum menjadi fokus utama pendidikan. Pendidikan karakter masih digabung  dalam mata pelajaran agama dan diserahkan sepenuhnya kepada guru agama. Pelaksanaan pendidikan karakter kepada guru agama saja sudah menjadi jaminan pendidikan karakter tidak akan berhasil. Maka wajar saja saat ini pendidikan karakter belum menunjukkan hasil yang optimal.

PENGERTIAN
                 Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk “membentuk kepribadian sesorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata  seseorang , yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya. (Thomas Lickona, 1991).
Tema peringatan Hari pendidikan nasional tahun 2010 yang baru lalu  dicanangkan oleh Mendiknas Muhammad Nuh adalah :”Pendidikan karakter untuk membangun Peradaban Bangsa”. Beliau mengatakan Pembangunan Karakter dan Pendidikan Karakter  menjadi keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik cerdas, pendidikan juga untuk membangun budi pekerti dan sopan santun dalam kehidupan. Untuk merealisasikan tema tersebut lebih lanjut mendiknas mengemukakan pendidikan karakter akan diterapkan pada semua jenjang pendidikan mulai jenjang pendidikan SD sampai Perguruan Tinggi, namun porsinya akan lebih besar diberikan pada Sekolah Dasar (SD). Pendidikan karakter harus dimulai sejak dini  yakni SD porsinya mencapai 60 % dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Hal ini agar mudah diajarkan dan melekat dijiwa anak-anak itu hingga kelak ia dewasa. Lebih jauh Mendiknas menyatakan pada saat menjadi pembicara pada seminar Nasional “Pendidikan Karakter bangsa “ pada rapat pimpinan Program Pasca Sarjana LPTK seluruh Indonesia di Universitas negeri Medan “Pendidikan karakter harus dimulai dari SD karena jika karakter tidak terbentuk sejak dini maka akan susah untuk merubah karakter seseorang”.
 Dunia pendidikan diharapkan sebaga motor penggerak untuk
memfasilitasi pembangunan karakter, sebab apa-apa yang terjadi dimasyarakat  kita sebenarnya menyangkut masalah karakter, seperti kekerasan, korupsi, manipulasi , kebohongankebohongan dan perilaku menyimpang lainnya ,berangkat dari pendidikan. Oleh sebab itu melalui pendidikan pula karakter bangsa dapat diperbaiki dan dibentuk terutama  Pembangunan karakter dan pendidikan mulai dari usia dini. Pembangunan karakter dan pendidikan karakter  menjadi suatu keharusan  karena pendidikan tidak hanya  menjadikan peserta didik cerdas, juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun  sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat  menjadi bermakna  baik bagi dirinya maupun orang lain.  

PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN KARAKTER
Ada beberapa prinsip dalam pendidikan karakter, yakni :
Pertama, manusia adalah makhluk yang dipengaruhi dua aspek, pada dirinya memiliki sumber kebenaran dan pada luar dirinya ada dorongan atau kondisi yang memengaruhi kesadaran.
Kedua, karena menganggap bahwa perilaku yang dibimbing oleh nilai-nilai utama sebagi bukti dari karakter, pendidikan karakter tidak meyakini adanya pemisahan antara roh, jiwa, dan badan. Hadis Rosulullah menyatakan bahwa iman dibangun oleh perasaan serta roh, jiwa dan badan, yaitu melalui perkataan, keyakinan, dan tindakan. Tanpa tindakan semua  yang diucapkan dan diyakini bukanlah apa-apa tanpa keyakinan maka tindakan dan perkataan tidak memiliki makna, kemudian tanpa pernyataan dalamperkataan tindakan dan keyakinan tidak akan terhubung.
Ketiga, pendidikan karakter mengutamakan munculnya kesadaran pribadi peserta didik untuk secara ikhlas mengutamakan karakter positif. Setiap manusia memiliki modal dasar (potensi yang membedakan dirinya dengan orang lain. Aktualisasi dari kesadaran ini dalam dunia pendidikan adalah pemupukan keandalan khusus seseorang yang memungkinkannya memiliki daya tahan dan daya saing dalam perjuangan hidup. Keempat, pendidikan karakter mengarahkan peserta didik untuk menjadi manusia ulul albab yang tidak hanya memiliki  kesadaran diri, tetapi juga kesadaran  untuk terus mengembangkan diri, memperhatikan masalah lingkungan, dan memperbaiki  kehidupan sesuai dengan pengetahuan dan karakter yang dimilikinya.  Manusia ulul albab adalah  manusia yang dapat diandalkan dari  segala aspek , baik aspek intelektual , afektif, maupun spiritual.

PENDIDIKAN KARAKTER, PENDIDIKAN AKHLAK, DAN PENDIDIKAN MORAL
Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak sebagaimana dirumuskan oleh Ibnu Maskawih, merupakan upaya kearah  terwujudnya sikap batin  yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan  yang bernilai baik dari seseorang. Dalam pendidikan akhlak ini kriteria benar dan salah  untuk menilai  perbuatan yang muncul merujuk pada Al Quran  dan Assunah sebagai sumber tertinggi  ajaran Islam.Lebih lengkapnya Ibnu Maskawih  menyatakan  “Akhlak adalah  Keadaan jiwa seseorang  yang mendorongnya  untuk melakukan perbuatan-perbuatan  tanpa melalui  pertimbangan  pikiran  lebih dulu”. Dengan demikian pendidikan akhlak  bisa dikatakan sebagai pendidikan  moral dalam diskursus  pendidikan islam. Dari telaah konsep akhlak yang dikemukakan  oleh tokoh-tokoh  pendidikan akhlak  seperti Ibnu Maskawih, al Gazali, Ahmad Amin, Ibnu Sina, menunjukkan bahwa  tujuan puncak  pendidikan akhlak  adalah terbentuknya  karakter  positif dalam  perilaku  anak didik. Karakter positif ini tiada lain  adalah penjelmaan sifat-sifat  mulia Tuhan  dalm kehidupan manusia, yakni ál asmaul husna”.

Pendidikan Karakter
 Penddidikan karakter  mulai ramai dibicarakan  sejak tahun 1990 an . Thomas Lickona dianggap  sebagai pengusungnya melalui karyanya  yaitu “ The Return of Character Education” sebuah buku  yang menyadarkan  dunia Barat  bahwa  pendidikan karakter adalah  sebuah keharusan. Karakter sebagaimana didefinisikan  oleh Ryan dan  Bohlin, mengandung tiga unsure pokok, yaitu mengetahui kebaikan (Knowing the good),mencintai  kebaikan ( loving the good), dan melakukan kebaikan ( doing the good). Dalam pendidikan karakter  kebaikan  sering kali dirangkum  dalam sederet sifat-sifat  baik . Pendidikan karakter adalah sebuah upaya  untuk membimbing perilaku manusia menuju stndar-standar baku. Upaya ini juga memberi jalan untuk menghargai persepsi nilai –nilai pribadi yang ditampilkan  disekolah.Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan  etika, tetapi prakteknya meliputi penguatan kecakapan-kecaakapan yang penting  yang mencakup perkembangan sosial siswa. Pendidikan karakter bukan hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, tetapi  lebih dari itu menanamkan kebiasaan  (habituation) tentang yang baik  sehingga siswa didik menjadi faham, mampu merasakan , dan mau melakukannya. Kaarakter adalah tabeat seseorang yang langsung di-drive oleh otak.

Pendidikan Moral
Pendidikan moral (moral education) secara umum digunakan untuk menjelaskan penyelidikan isu-isu etika diruang kelas dan sekolah dan sifatnya lebih umum . Isu-isu etika disini cenderung pada penyampaian nilai-nilai yang benar  dan nilai-nlai yang salah, tetapi aplikasinya dalam kehidupan tidak mendapat porsi yang memadai. Moral ini sangat normative dan kurang bersinggungan dengan ranah afektif dan psikomotorik.

PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH
Pelaksanaan Pendidikan karakter di sekolah yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan karakter  dikemukakan berbagai cara atau metode adalah bahwa :
 Pertama, menggunakan metode pembidanan. Socrates dalam Ratna Megawangi mengemukakan perlunya formula 4 M dalam pendidikan karakter ,yaitu: Mengetahui (knowing the good), mencintai ( loving the good), mengingin kan (desiring the good), dan mengerjakan (acting the good) kebaikan secara simultan dan berkesinambungan. Cara ini menunjukkan bahwa karakter adalah sesuatu yang dikerjakan berdasarkan kesadaran yang utuh. Sedan gkan kesadaran utuh itu adalah sesuatu yang diketahui  secaara sadar, dicintainya,dan diinginkan. Dari kesadaran utuh ini, barulah tindakan dapat menghasilkan karakter yang utuh pula. Proses pengajaran yang bermula dari memberikan pengetahuan peserta didik tentang kebaikan, menggiring atau mengkondisikan agar peserta didik mencintai kebaikan tersebut, kemudian membangkitkan peserta didik agar menginginkan karakter yang diajarkan, dan terakhir mengondisikan peserta didik agar mengerjakan kebaikan secara sukarela, simultan dan berkesinambungan.   
Kedua, metode atau dengan cara pembiasaan. Pembiasaan  merupakan alat penddidikan. Dalam pembiasaan peserta didik dipancing untuk menyadari karakter tertentu yang telah ditentukan, baru kemudian karakter yang telah disadari dan diinginkan itu dibiasakan dalam keseharian. Pembiasaan dimulai dengan menetapkan sikap atau tingkah laku atau karakter yang baik kemudian dilatihkan dan dibiasakan kepada peserta didik. Secara berproses, latihan-latihan yang dilakukan apabila diikuti dengan kesadaran dan mawas diri, lama kelamaan akan menyatu dalam kepribadian peserta didik dan itu menjadi karakter. Kebiasaan tersebut haarus dilestarikan sehingga mempribadi atau menyatu dalam kehidupan peserta didik.

Kemudian dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah Doni A. Koesoema dalam Bambang Q-Anees (2008), mengajukan lima metode atau lima cara pendidikan karakter yaitu :

Mengajarkan
    Mengajarkan karakter berarti memberikan pemahaman pada peserta didik tentang struktur nilai tertentu, keutamaan (bila dilaksanakan), maslahatnya, manfaatnya, kegunaannya, kerugiannya atau bahayanya (bila tak dilaksanakan).
Mengajarkan nilai-nilai memiliki  dua faedah. Pertama, memberikan pengetahuan konseptual baru. Kedua, menjadi pembanding atas pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik, karena proses mengajarkan tidaklah menolong, melainkan melibatkan peserta didik. Inilah unsur  metode pendidikannya.
Dalam konsep mengajarkan ini yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengajukan apa yang difahaminya, apa yang pernah dialaminya, dan bagaimana perasaannya berkenaan dengan konsep yang diajarkan. Melalui cara ini, konsep yang diajarkan bukanlah sesuatu yang asing dan baru melainkan sudah dialami atau pernah teramati oleh peserta didik. Konsep tetap diberikan dan menjadi otoritas guru. Konsep yang diberikan guru dapat bermanfaat bagi peserta didik bukan sebagai doktrin melainkan sebagai norma-norma bagi apa yang telah dialami peserta didik. Dalam mengajarkan konsep-konsep ini disertai dengan contoh-contoh  yang pernah dan teramati oleh peserta didik.

Keteladanan
Keteladanan adalah alat utama dalam pendidikan . Hal ini dipraktekan oleh Rosulullah Muhammad saw. dalam mendidik umatnya. Firman Allah menyatakan “Laqod kana lakum fi rosulillah uswatun hasanah” artinya “Sungguh telah ada pada diri Rosulullah contoh tauladan  yang baik” (Q.S.Al Ahzab: 21). Dalam pendidikan karakter, keteladanan perlu dikembangkan  oleh orang tua dilingkungan keluarga, guru-guru disekolah, tokoh masyarakat dan ulama serta para pemimpin bangsa. Peribahasa mengatakan “Bahasa tingkah laku (keteladanan) lebih mantap ketimbang bahasa ucapan. Dawah bila hal lebih baik dengan dawah bil qaul. Guru harus terlebih dahulu memilki karakter yang hendak diajarkan, guru adalah yang digugu dan ditiru (digugu ucapannya dan ditiru perilakunya). Peserta didik akan meniru apa yang dilakukan gurunya.
Keteladanan tidak hanya bersumber dari guru  disekolah, tapi dari seluruh tenaga keependidikan lainnya yang ada dilembaga sekolah mulai dari kepala Sekolah, stap tata usaha, administrasi, kepustakaan, dimana peserta didik berada dan sering berhubungan. Oleh sebab itu pendidikan karakter membutuhkan lingkungan pendidikan yang utuh.

Menentukan Prioritas
 Penentuan  prioritas harus ditentukan agar proses evaluasi atas  berhasil tidaknya pendidikan  karakter dapat menjadi jelas. Tanpa prioritas, pendidikan karakter tidak dapat terfokus dan karenanya tidak daapat dinilai berhasil atau tidak berhasil. Lembaga sekolah memilki  beberapa beberapa kewajiban :
Pertama, menentukan tuntutan standar yang akan ditawarkan pada peserta didik.
Kedua, semua pribadi yang terlibat  dalam lembaga pendidikan harus
memahami secara jernih apa nilai yang ingin ditekankan  dalam  lembaga pendidikan karakter.
     Ketiga,  jika lembaga ingin  menetapkan perilaku  struktur  yang menjadi ciri khas lembaga, maka karakter standar itu  harus difahami oleh anak didik.

Praksis Prioritas
Lembaga pendidikan harus mampu  membuat verifikasi sejauh mana prioritas yang telah ditentukan  telah dapat direalisasikan  dalam lingkup pendidikan melalui berbagai unsur yang ada dalam lembaga  pendidikan ini.

Refleksi
 Refleksi disini berarti dipantulkan kedalam diri. Apa yang telah dialami masih tetap terpisah dengan kesadaran  diri sejauh ia belum dikaitkan, dipantulkan dengan isi kesadaran  seseorang. Refleksi disini merenungkan apa-apa yang telah dipelajarinya. Refleksi disini dapat juga disebut sebagai proses bercermin, mematut matutkan  diri pada peristiwa / konsep yang telah dialami, apakah saya seperti itu? Apakah ada karakter baik  seperti itu pada diri saya?           
Selain metode-metode tersebut diatas, dalam pendidikan karakter disekolah  ada lagi sebagai alternative metode dialog partisipatif, dan metode eksperimen. Metode dialog partisipatif mendorong para siswa untuk kreatif, kritis,mandiri, dan terampil berkomunikasi. Metode dialog partisipasi  dijabarkan /dikonkritkan  dalam kegiatan-kegiatan seperti diskusi kelompok, sharing pengalaman keseharian dan sharing  pengalaman iman, wawancaara, dramatisasi, dinamika kelompok dan sebagainya. Metode  naratif menggunakan cerita  sebagai model pengembangan diri. Metode ini dianggap unggul karena bersifat merangsang imajinasi peserta didik, menyapa peserta didik secara menyeluruh, baik segi kognitif maupun afektif, bersifat menawarkan, membebaskan dan tidak menjejali.

KESIMPULAN
Pendidikan karakter merupakan misi utama para Nabi. Muhammad Rasulullah sedari awal tugasnya memiliki suatu pernyataan yang unik, bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan akhlak (karakter). Manifesto Muhammad Rasulullah ini mengindikasikan bahwa pembentukan karakter merupakan kebutuhan utama bagi setiap manusia lebih-lebih bagi peserta didik di sekolah mulai dari usia dini. Pada sisi lain masing-masing manusia telah memiliki karakter tertentu, namun perlu disempurnakan.
Pentingnya pendidikan karakter di sekolah sebagai tempat mendidik generasi penerus bangsa, hal ini berangkat dari kondisi objektif dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini telah terjadi penyimpangan-penyimpangan seperti kekerasan, korupsi, manipulasi, kebohongan-kebohongan, tidak adanya panutan dan keteladanan
dikalangan para pemimpin, kepalsuan, pelanggaran dan pemutar balikan hokum, dan sebagainya. Hal ini mendorong dunia pendidikan untuk membentuk dari awal peserta didik sebagai manusia yang masih bersih untuk diberikan pendidikan karakter, walaupun sudah terlambat, tetapi lebih baik daripada tidak dimulai.
Adapun pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah dilakukan dengan berbagai metode yang dapat dilakukan oleh guru atau lembaga pendidikan yaitu: Metode pembidanan yang diformulasikan melalui 4M, yaitu Mengetahui kebaikan (knowing the good), Mencintai kebaikan (loving the good), Menginginkan kebaikan (de siring the good), dan Mengerjakan kebaikan (acting the good). Selain metode tersebut, metode pendidikan karakter dilakukan melalui metode: Mengajarkan, Keteladanan, Menentukan prioritas, praksis prioritas, metode dialog partisifatif dan eksperimen serta Metode naratif.

REFERENSI

Akhmad Tafsir, (2008), Pesan Moral Ajaran Islam, Maestro,
Bandung. Asri Budiningsih C., (2004), Pembelajaran Moral, Rineka Cipta, Jakarta. Alsyaiban, (1979), Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Bambang Q-Anees, Adang Hambali, (2008), Pendidikan Karakter Berbasis Al Quran, Simbiosa Rekatama Media, Bandung.
Din Zaenudin, (2004), Pendidikan Budi Pekerti Dalam Perspektif Islam, Almawardi Prima, Jakarta.
Doni A. Koesoema, (2007), Tiga Matra Pendidikan Karakter,
Basis. Humaidi Tatapangarsa, (1979), Pengentar Kuliah Akhlak, Bina Ilmu, Surabaya.


MANAJEMEN TENAGA KERJA PENDIDIKAN


MANAJEMEN TENAGA KERJA PENDIDIKAN


Manajemen tenaga kependidikan merupakan langkah penting dalam mewujudkan sistem pendidikan nasional yang efektif dan efesien. Tenaga-tenaga handal dalam dunia pendidikan hanya akan diperoleh jika sistem pendidikan telah memiliki mekanisme yang ideal untuk melakukan pengadaan, penempatan, penugasan, pemeliharaan, pembinaan, dan pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja yang tepat. Dengan kata lain sistem pendidikan nasional memerlukan mekanisme manajemen tenaga kependidikan yang searah dengan pencapaian tujuan pendidikan nasional.
                     Tenaga pendidik dan kependidikan mempunyai peranan penting dalam proses pendidikan. Hal ini disebabkan karena ada dimensi-dimensi proses pendidikan atau lebih khusus lagi proses pembelajaran yang diperankan oleh pendidik yang tidak bisa diganti oleh teknologi. Walaupun teknologi dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran yang cepat, namun peranan pendidik lebih dominan. Begitu juga dengan tenaga kependidikan yang bertugas melaksanakan administrasi, pendelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.

PENGERTIAN MANAJEMEN TENAGA PENDIDIKAN
Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Yang termasuk ke dalam tenaga kependidikan adalah kepala sistem pendidikan, pendidik, dan tenaga kependidikan lainnya.
                                    Tenaga kependidikan lainnya ialah orang yang berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan, walaupun secara tidak langsung terlibat dalam proses pendidikan, diantaranya:
a.      Wakil-wakil/kepala urusan, umumnya pendidik yang mempunyai tugas tambahan dalam bidang yang khusus, untuk membantu kepala satuan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan pada institusi tersebut.contoh: kepala urusan kurikulum.
b.      Tata usaha, adalah tenaga kependidikan yang bertugas dalam bidang administrasi instansi tersebut. Bidang administrasi yang dikelola diantaranya, administrasi surat menyurat dan pengarsipan, administrasi kepegawaian, administrasi peserta didik, administrasi keuangan, administrasi inventaris, dan lain-lain.
c.      Laboran, adalah petugas khusus yang bertanggung jawab terhadap alat dan bahan laboratorium.
d.      Pustakawan, pelatih ekstrakurikuler, petugas keamanan (penjaga sekolah), petugas kebersihan, dan lainnya.[1]
         Manajemen tenaga kependidikan yaitu rangkaian kegiatan menata tentang kependidikan mulai dari merencanakan, membina hingga pemutusan hubungan kerja agar dapat terselenggarakan secara efektif dan efesien. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat 5 dan 6 yang dimaksud dengan tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen konselor, pamong belajar, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.[2] 

TUJUAN MANAJEMEN TENAGA PENDIDIKAN
Tenaga pendidik dibawah Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) memiliki wewenang untuk mengatur, mengelola tenaga pendidik dan kependidikan. Berdasarkan (Pemendiknas No. 08 Tahun 2005), tugas Ditjen PMPTK adalah merumuskan serta melaksanakan kebijakan standarisasi teknis dibidang peningkatan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan non formal.
         Fungsi Ditjen PMPTK:
1.      Penyiapan perumusan kebijakan departemen di bidang peningkatan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan.
2.      Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatanmutu pendidik dan tenaga kependidikan.
3.      Penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan.
4.      Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan.
5.      Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal.[3]
            Adapun tujuan manajemen tenaga pendidik dan kependidikan secar umum, yaitu:
1.      Memungkinkan organisasi mendapatkan dan mempertahankan tenaga kerja yang cakap, dapat dipercaya dan memiliki motivasi tinggi.
2.      Meningkatkan dan memperbaiki kapasitas yang dimiliki oleh karyawan.
3.      Mengembangkan sistem kerja dengan kinerja tinggi yang meliputi prosedur perekrutan dan seleksi yang ketat, sistem kompensasi dan insentif yang disesuaikan dengan kinerja, pengembangan manajemen serta aktivitas pelatihan yang terkait dengan kebutuhan organisasi dan individu.
4.      Mengembangkan praktik manajemen dengan komitmen tinggi yang menyadari bahwa tenaga pendidik dan kependidikan merupakan stackholders internal yang berharga serta membantu mengembangkan iklim kerja sama dan kepercayaan bersama.[4]

TUGAS DAN FUNGSI TENAGA KEPENDIDIKAN
Tugas dan fungsi tanaga pendidik dan kependidikan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 pasal 39:
1)     Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.
2)     Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatiha, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.[5]
         Secara khusus tugas dan fungsi tenaga pendidik (guru dan dosen) didasarkan pada UU No. 14 Tahun 2007, yaitu sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta pengabdi kepada masyarakat. Dalam pasal 6 disebutkan bahwa, kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia ynag sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
         Tenaga pendidik dan kependidikan mempunyai hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas, yaitu:
         Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:
1.      Penghasilan dan jaminan kesejahteraan social.
2.      Pengahargaan sesuai prestasinya.
3.      Pembinaan karier sesuai dengan pengembangan kualitas.
4.      Perlindungan hokum.
5.      Kesempatan untuk memperoleh sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan.
         Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:
1.      Menciptakan suasana pendidikan yang efektif dan efesien.
2.      Mempunyai komitmen secara profesional.
3.      Memberi teladan dan nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan.[6]

JENIS-JENIS TENAGA PENDIDIKAN
Jenis-jenis tenaga kependidiakan dapat menjadi 3 jenis, yaitu:
1.      Tenaga strukrural, merupakan tenaga kependidikan yang jabatan-jabatan eksekutif umum (pimpinan) yang bertanggung jawab baik langsung maupun tidak langsung atas satuan pendidikan.
2.      Tenaga fungsional, merupakan tenaga kependidikan yang menempati jabatan fungsional yaitu jabatan yang dalam pelaksanaan pekerjaannya mengandalkan keahlian akademis kependidikan .
3.      Tenaga teknis kependidikan, merupakan tenaga kependidikan yang dalam pelaksanaan pekerjaannya lebih di tuntut kecakapan teknis operasional atau teknis administratif.[7]
         Sedangkan menurut Hartati Sukirman tenaga kependidikan dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Tenaga pendidik
      Tenaga pendidik adalah personil di lembaga pelaksanaan pendidikan yang melakukan salah satu aspek atau seluruh kegiatan (proses) pendidikan, mikro ataupun makro. Adanya tenaga pendidik selain mengajar secara teori juga diharapkan dapat membimbing anak didiknya. Tenaga pendidik dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:
1)     Penagajar
2)     Pembimbing
3)     Supervisor pendidikan.
2.      Tenaga administrator pendidikan
      Administrator pendidikan merupakan personil yang bertugas melaksanakan kegiatan pengelolaan penyelenggaraan pendidikan. Kelompok administrator pendidikan tersebut meliputi:
1)     Perencana pendidikan profesional
2)     Pengembang kurikulum pendidikan
3)     Peneliti dan pengembang pendidikan
4)     Perancang sarana dan media pendidikan.
3.      Tenaga teknisi pendidikan
      Teknisi pendidikan merupakan orang-orang yang bertugas memberikan pelayanan pendidikan melalui pendekatan kondisional (fasilitas dan layanan khusus). Tenaga teknisi pendidikan ini meliputi:
1)     Pustakawan pendidikan
2)     Petugas pusat sumber belajar
3)     Laboran-pendidik.
         Tenaga kependidikan merupakan hasil analisis jabatan yang dibutuhkan oleh suatu sekolah atau satuan organisasi yang lebih luas. Sejalan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai sebagai daerah otonom, maka jenis-jenis tenaga kependidikan dapat bervariasi sesuai kebutuhan organisasi atau lembaga yang bersangkutan.[8]

KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa manajemen tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Yang termasuk ke dalam tenaga kependidikan adalah kepala satuan pendidikan, pendidik, dan tenaga kependidikan lainnya. Manajemen tenaga kependidikan bertujuan untuk mengembangkan sistem kerja dengan kinerja tinggi yang meliputi prosedur perekrutan dan seleksi yang ketat, sistem kompensasi dan insentif yang disesuaikan dengan kinerja, pengembangan manajemen serta aktivitas pelatihan yang terkait dengan kebutuhan organisasi dan individu.
                     Secara khusus tugas dan fungsi tenaga pendidik (guru dan dosen) didasarkan pada UU No. 14 Tahun 2007, yaitu sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat. Adapun jenis-jenis tenaga kependidikan ada 3, yaitu tenaga struktural, tenaga fungsional, dan tenaga teknis kependidikan.

REFERENSI
Aedi Nur. 2016. Manajemen Pendidik dan Tenaga Pendidikan. Bandung: Gosyen Publishing.
Sukirman dan Hartati. 2000. Manajemen Tenaga Kependidikan. Yogyakarta: FIP UNY.
Muhaimin. 2009. Manajemen Pendidikan. Jakarta: Prenada Media.
Mohammad Mustari. 2015. Manajemen Pendidikan. Jakarta: Raja Wali.
Daryanto. 2005. Administrasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.



[1] Nur Aedi, Manajemen Pendidik dan Tenaga  Pendidikan (Bandung: Gosyen Publishing, 2016). Hal 25-26.
[2] Sukirman dan Hartati, Manajemen Tenaga Kependidikan, (Yogyakarta: FIP UNY, 2000),hal 60
[3] Nur Aedi, Manajemen  Pendidik  dan Tenaga Pendidikan,….hal 40.
[4] Nur Aedi, Manajemen  Pendidik  dan Tenaga Pendidikan,….hal 41.
[5] Muhaimin, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media, 2009), hal 120.
[6] Muhaimin, Manajemen Pendidikan,…hal 120-121.
[7] Mohammad Mustari, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Raja Wali, 2015), hal 135.
[8] Daryanto, Administrasi Pendidikan,(Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal 75.



MANAJEMEN KONFLIK DAN RESIKO

 “BENTUK-BENTUK KONFLIK DAN DAMPAKNYA”

                                                                                                            



KATA PENGANTAR


      Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan, kesempatan serta kelapangan berfikir sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Shalawat beserta salam yang tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan sosok yang amat mulia yang menjadi panutan setiap muslim serta telah membuat perubahan besar di dunia ini.
Tidak lupa pula kami sampaikan terima kasih kepada Ibu Ainul Mardhiah, MA. selaku Dosen bidang studi Manajemen Konflik dan Resiko  .
 Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kami berharap adanya kritikan dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan.  Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna bagi kita semua dalam rangka menambah wawasan dan pengetahuan mengenai “Bentuk-Bentuk Konflik Dan Dampaknya”.
                                                                                                            

Banda Aceh, 27 Maret 2019






DAFTAR ISI

KATA PENGANTER
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang 
B.    Rumusan Masalah 

BAB II PEMBAHASAN                                   
      
           A.    Definisi Manajemen Konflik 
                 1.     Pengertian Manajemen 
                 2.     Pengertian Konflik 
                 3.     Pengertian Manajemen Konflik 
          B.    Pengebab Terjadinya Konflik 
          C.    Bentuk-Bentuk Konflik dan dampaknya 

BAB III PENUTUP

    A.    Kesimpulan 

DAFTAR PUSTAKA 










BAB I
PENDAHULUAN


A.              Latar Belakang

Konflik adalah segala macam interaksi pertentangan atau antogonistik antara dua atau lebih pihak. Dengan kata lain konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain pada level yang berbeda-beda karena beberapa alasan/penyebab utama, yaitu tujuan yang ingin dicapai, dan alokasi sumber-sumber yang dibagikan. Disamping itu, sikap antagonistis dan kontroversi yang ditunjukkan oleh seseorang dalam situasi dan peristiwa tertentu juga menjadi pemicu munculnya konflik dalam suatu organisasi.
Konflik pada dasarnya berkaitan erat dengan perasaan (emosi) manusia, seperti perasaan diabaikan, disepelekan, dan tidak dihargai oleh kawan seprofesi, atasan, maupun terhadap orang-orang yang menjadi bawahan. Perasaan tidak dihargai dan disepelekan seringkali muncul ketika distribusi informasi organisasi tidak terkomunikasikan dengan baik sesuai standar operasioanl prosedur yang telah disepakati bersama. Keadaan seperti ini dapat mempengaruhi seseorang dalam melakukan pekerjaan yang terlalu sering berbuat salah.
Konflik merupakan realita hidup, yang tidak bisa dihindari baik kita menerimanya ataupun tidak, suka atau tidak, cepat atau lambat pada suatu saat dalam menjalani kehidupannya orang pasti akan menghadapinya hanya saja tergantung besar kecilnya tingkat konflik yang dihadapi. Dalam kehidupan sosial sehari-hari, konflik dapat timbul dan muncul kapan saja dimana saja. Konflik juga bisa dialami oleh siapa saja tidak pandang bulu, orang tua, remaja, anak-anak, pria, wanita, orang terpelajar, orang awam, orang miskin, jutawan atau siapapun yang hidup di tengah pergaulan umum pasti akan menghadapi dan mengalami konflik.
Konflik pada dasarnya bisa muncul pada aktivitas diri seseorang (sebagai konflik internal) maupun pada aktivitas sosial yang cakupannya lebih luas. Konflik yang timbul dari internal individu/organisasi cara menanggulanginya akan jauh lebih mudah dibandingkan dengan
konflik yang timbulnya dari kelompok dengan kelompok dan kelompok dengan organisasi atau
antar organisasi. Kecepatan meredam, memanaj, dan menyelesaikan berbagai jenis konflik yang
muncul sangat dipengaruhi oleh tingkat respon dan ketepatan dalam memilah/memilih strategi
penyelesaian konflik tersebut.
Konflik yang muncul dalam suatu organisasi akan mengganggu kelancaran hubungan antar individu anggota organisasi. Apabila hubungan antar individu terganggu akibat adanya konflik, maka pribadi-pribadi yang berkonflik akan merasakan suasana kerja dan suasana psikologis tertekan. Orang-orang yang bekerja di bawah tekanan psikologis dapat mengakibatkan menurunnya tingkat motivasi kerja. Akibat dari semua itu prestasi kerja berkurang sehingga secara luas hal tersebut akan mengakibatkan produktivitas kerja pribadi dan organisasi/perusahaan menurun.
Konflik adalah suatu hal nyata dalam kehidupan seseorang, karena merupakan proses sosial orang-orang yang berusaha mencapai tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan, dan bagaimana pun juga, hal ini memang dibuat sehingga orang lain akan memperhatikan atau menghargai prestasi yang dicapainya. Dunia kerja kita tidak dapat terlepas dari unsur keanekaragaman budaya, kepribadian, persepsi, serta hal-hal lain yang bersumber dari keberagaman daerah asal, pola asuh dan lainlain yang menyebabkan perbedaan cara dalam bersikap.
            Manajemen konflik sangat berpengaruh bagi anggota organisasi. Pemimpin organisasi dituntut menguasai manajemen konflik agar konflik yang muncul dapat berdampak positif untuk meningkatkan mutu organisasi.



B.               Rumusan Masalah

1.     Apa yang dimaksud dengan Manajemen?
2.     Apa yang dimaksud dengan Konflik?
3.     Apa Pengertian dari Manajemen Konflik?
4.     Apa yang menjadi Pengebab Terjadinya Konflik?
5.     Apa-apa saja Bentuk-Bentuk Konflik dan dampak dari konflik?




BAB II
PEMBAHASAN


A.              Definisi Manajemen Konflik
1.               Pengertian Manajemen
Pada hakikatnya manajemen adalah suatu kegiatan untuk mencapai tujuan, melalui kerja orang-orang lain. Secara lebih terperinci dapat dinyatakan, bahwa manajemen meliputi perancangan dan sifat-sifat usaha kelompok dalam rangka untuk mencapai tujuan, tetapi dengan penggunaan modal berupa, waktu, uang, materi dan juga hambatan yang dijumpai, seminim mungkin. Dengan kata lain konsep dasar manajemen adalah perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian suatu aktivitas yang bertujuan untuk mengalokasikan sumber daya sehingga mempunyai nilai tambah. Di dalam manajemen sering kita saksikan bahwa manajemen tersebut lebih memusatkan pada perhatian kepada upaya penggerakan dan pemberdayaan sumber daya manusia.[1]

2.               Pengertian  Konflik
Konflik berasal dari bahasa Laitn: Confligo, terdiri dari dua kata yaitu “con” berarti bersama-sama dan “fligo” yang berarti pemogokan, penghancuran atau peremukan.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang itu memiliki perbedaan atau secara istilah disebut "different thinking, different opinion, different analysis, and too different action." Dan perbedaan itu terjadi karena dilatarbelakangi oleh berbagai sebab seperti latar belakang experience, reference, keluarga, pendidikan, organisasi, dan lain sebagainya. Dimana perbedaan ini secara langsung dan tidak langsung telah turut mempengaruhi lahirnya konflik. Dan ilmu manajemen berusaha keras memberikan kupasan konflik dari segi pendekatan manajemen yaitu bagaimana me-manage konflik tersebut. Termasuk bagaimana memahami konflik dalam perspektif motivasi dan kepemimpinan.
Adapun pengertian konflik adalah sebuah persepsi yangberbeda dalam melihat suatu situasi dan kondisi yang selanjutnya teraplikasi dalam bentuk aksi-aksi sehingga telah menimbulkan pertentangan dengan pihak-pihak tertentu.[2]
Menurut Mangkunegara, konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain, organisasi dengan kenyataan apa yang diharapkan.[3]
Stephen P. Robbins mendefinisikan konflik sebagai suatuproses dimana A melakukan usaha yang sengaja dibuat untuk menghilangkan usaha-usaha B dengan sebentuk usaha untuk menghalangi sehingga mengakibatkan frustrasi pada B dalam usaha untuk mencapai tujuannya atau dalam meneruskan kepentingan-kepentingannya.
Luthans, F. mengartikan konflik sebagai ketidaksesuaian nilai atau tujuan antara anggota organisasi, sebagaimana dikemukakan konflik mengacu pada pertentangan antar individu atau kelompok yang dapat katkan ketegangan sebagai akibat saling menghalangi dpencapaian tujuan sebagaimana dikemukakan sebagai.
T. Hani Handoko menjelaskan bahwa Pada hakikatnya konflik dapat didefinisikan sebagai segala macam interaksi pertentangan atau antagonistik antara dua atau lebih pihak. Lebih jauh T. Hani Handoko mengatakan tentang konflik organisasi, yaitu; "Konflik organisasi (organizational conflict) adalah ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota-anggota atau kelompok-kelompok organisasi yang timbul karena adanya kenyataan bahwa mereka harus memba sumber daya-sumber daya yang terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja dan/atau karena kenyataan bahwa mereka mempunya perbedaan status, tujuan, nilai atau persepsi".[4]

3.               Pengertian manajemen konflik
Manajemen adalah sebuah seni, dan konflik yaitu sebuah kondisi yang terjadi akibat adanya usaha pembuktian yang begitu keras dari beberapa pihak dan pihak lain belum menyetujui atau berkeyakinan terhadap pendapat tersebut. Karena itu penjelasan dalam ilmu manajemen membantu dalam menyelesaikan konflik yang berlarut-larut menjadi lebih rileks dan terputuskan. Penafsiran rileks sering ditempatkan oleh para pakar manajemensebagai bentuk dan cara melihat suatu masalah secara tidak tegang, keras, dan otoriter. Namun melihat konflik sebagai sebuah situasi demokrasi yang melahirkan pemahaman-pemahaman berbeda, serta siap diputuskan secara bijaksana.[5]
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk dalam pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun  pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interest) dan interpretasi. Bagi pihak luar (diluar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif diantara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut Rose, manajemen konflik adalah langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan kearah hasil  tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga.suatu pendekatan yang berorientasi pada manjemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.[6]

B.              Penyebab Terjadinya Konflik
Konflik sebagai sebuah situasi timbul karena adanya sebab yang mengkondisikannya. Sebab-sebab umum yang sering menimbulkan konflik dalam suatu organisasi menurut Agus Hardjana, antara lain:
·       Salah pengertian, informasi/berita yang tidak dikomunikasikan secara lengkap/utuh dapat menimbulkan konflik. Informasi yang lengkap dan jelas tetapi tidak disampaikan tepat waktu juga dapat menimbulkan konflik. Dari sisi penerima informasi/pesan, semua pesan telah diterima secara komplit/utuh, jelas, tepat waktu, tetapi salah dalam memahami dan menterjemahkan informasi yang diterima tersebut.
·       Perbedaan tujuan kerja karena perbedaan nilai hidup yang dianut. Orang yang bekerja karena ingin mendapatkan upah/gaji demi menghidupi ekonomi keluarga akan sangat berbeda motivasi/semangat dan cara kerjanya jika dibandingkan dengan orang yang bekerja hanya karena ingin mengabdikan dirinya sebagai panggilan hidup. Orang-orang yang secara materi sudah berkecukupan, bekerja kadangkala hanya digunakan untuk memperoleh status sosial saja, sehingga kondisi semacam ini memunculkan disorientasi kerja antara orang satu dengan lainnya.
·       Perebutan dan persaingan dalam hal fasilitas kerja dan suatu jabatan yang terbatas. Konflik dapat muncul dalam situasi di mana orang-orang yang berkeinginan untuk menduduki jabatan supervisor, manajer, direktur, sampai presiden direktur sangat banyak sementara pos-pos jabatan yang ingin dituju sangatlah terbatas.
·       Masalah wewenang dan tanggungjawab. Jenis pekerjaan yang bermacam-macam dan saling memiliki keterkaitan satu sama lain memungkinkan terjadinya lempar tanggungjawab atas pekerjaan tertentu. Dalam organisasi yang besar dengan kompleksitas pekerjaan dan masalah yang besar, batas-batas wewenang dan tanggungjawab antar lini atau bagian/departemen walaupun sudah jelas dan terstandar tetapi seringkali masih menyisakan persoalan-persoalan yang di luar kebiasaan.
·       Penafsiran yang berbeda atas suatu hal, perkara, dan peristiwa yang sama. Organisasi yang beranggotakan orang-orang dengan berbagai latar belakang suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, dan usia memiliki tingkat heteroginitas yang sangat tinggi. Karena anggota organisasi yang berbeda latar belakang, sudah barang tentu keinginan, harapan, sudut pandang, ide, gagasan, dan tujuan setiap orang juga berbeda-beda pula. Perbedaan sudut pandang terhadap suatu peristiwa antar individu memungkinkan munculnya pertentangan pendapat yang bias menimbulkan konflik.
·       Kurangnya kerja sama antar pegawai, antara pegawai dengan pimpinan, dan antara pimpinan dengan pimpinan dapat menyebabkan hasil kerja tidak optimal.
·       Tidak menaati tata tertib yang berlaku bagi semua anggota oraganisasi.
·       Ada usaha untuk menguasai dan merugikan. Usaha kelompok tertentu dalam organisasi untuk menguasai kelompok lain dengan tujuan mencari keuntungan di satu sisi dan merugikan di sisi yang lain dapat memunculkan situasi/gejolak terutama kelompok yang merasa dirugikan. Gejolak yang muncul inilah yang dapat membulkan konflik organisasi yang harus diredam dan dicarikan penyelesaiannya oleh para manajer/pimpinan.
·       Pelecehan pribadi dan kedudukan. Orang yang pribadi dan kedudukannya dilecehkan merasa harga dirinya di injak dan dan direndahkan. Apalagi orang yang melecehkan tersebut secara hirarki tidak setara kedudukannya dibandingkan dengan orang yang dilecehkan. Seorang yang pribadi dan kedudukannya diremehkan dan dihina orang lain biasanya melakukan perlawanan. Kadangkala perlawanan melibatkan bawahan masing yang berkonflik, sehingga cakupan konfliknya menjadi meluas. 
·       Perubahan dalam sasaran dan prosedur kerja. Pada dasarnya orang yang sudah berada pada posisi nyaman memiliki kecenderungan untuk memepertahankan status quo alias tetap. Bagi orang yang berada dalam wilayah nyaman, perubahan dianggap sebagai ancaman yang harus dilawan. Perubahan hanya akan merugikan dirinya, baik dari sisi karir, kedudukan, kewenangan, pestise, pengaruh maupun secara ekonomi.

C.              Bentuk-bentuk konflik dan dampaknya

Jika dipandang dari sumbernya, konflik bisa timbul karena adanya beberapa sebab diantara Bentuk-bentuk konflik ada beberapa macam, yaitu:
·       Konflik pada diri individu itu sediri, timbul ketika seorang individu sedang menghadapi pekerjaan yang tidak disukainya di satu sisi tetapi harus dilakukannya pada sisi yang lain sebagai bentuk konsekuensi dari status dan jenjang kepangkatan yang melekat pada dirinya. Selain itu pada situasi tertentu seseorang akan mengalami konflik individu ketika target pekerjaan yang harus diselesaikannya tidak didukung oleh kemampuan teknis yang dimilikinya karena faktor pendidikan, usia, dan kesehatan.
·       Konflik antar individu, timbul dalam suatu organisasi akibat perbedaan latar belakang, etnis, suku, agama, tujuan, dan kepribadian antar individu. Konflik semacam ini juga bisa muncul karena antar individu dibedakan oleh peranan masing-masing dalam organisasi seperti direktur dengan manajer, manajer dengan mandor, dan mandor dengan para buruh atau sebaliknya. Perbedaan peran tentunya memunculkan perbedaan tujuan, orientasi, dan
kepentingan masing-masing.
·       Konflik individu dengan institusi/kelompok, hal ini terjadi karena individu tertentu seabagai bagian dari kelompok dalam suatu organisasi tidak/kurang bisa memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga dikucilkan dari pergaulan kelompok tersebut. Perasaan dikucilkan, tidak dihargai, tidak dipandang/dihormati seperti individu yang lain menimbulkan konflik individu yang dapat mengganggu integritas dan
keseimbangan hubungan antar individu sehingga dapat merugikan organisasi secara keseluruhan.[7]
·       Konflik antar kelompok, konflik ini terjadi karena perbedaan kepentingan dan tujuan yang satu sama lain tidak ada yang mau mengalah. Biasanya konflik antar kelompok ini muncul karena ingin saling menguasai, yang mayoritas merasa lebih berhak menjadi pemimpin dan menentukan tujuan kelompok tersebut. Sedangkan kelompok minoritas berasumsi bahwa dalam kelompok tidak bolah ada superior dan inferior, semua memiliki hak dan kewajiban yang sama, berhak atas perlakuan dan keadilan yang sama.
·       Konflik antara kelompok dengan organisasi, konflik ini timbul ketika organisasi menuntut target produktivitas terlalu tinggi sedangkan para individu anggota organisasi hanya bisa memberikan terlalu rendah. Seorang direktur ingin perusahaannya maju dengan tingkat produksi yang optimal agar dicapai laba perusahaan secara optimal pula, sementara dari sisi manajer, mandor, buruh/karyawan berkeinginan bagaimana memperoleh gaji/upah yang setinggi-tingginya agar dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya.
·       Konflik antar organisasi, timbul sebagai akibat persaingan bisnis, persaingan memperoleh
pengakuan/pengaruh dari masyarakat, kesalahpahaman antar individu anggota organisasi saja tetapi mengakibatkan eskalasi masalahnya melibatkan masing-masing organisasi sehingga pihak manajemen harus turun tangan. Dari sisi bisnis, perang harga, perebutan
pangsa pasar, pengembangan produk, dan kemajuan teknolgi menimbulkan konflik sesame organisasi.[8]



Adapun bentuk-bentuk konflik menurut Sukanto,  adalah sebagai berikut:
·       Konflik peranan yang terjadi didalam diri seseorang (person-role confict) dimana peraturan yang berlaku tak dapat diterima oleh seseorang sehingga orang tersebut memilih untuk tidak melaksanakan sesuatu sesuatu sesuai dengan peraturan yang berlaku tersebut.
·       Konflik antar peranan , dimana orang menghadapi persoalan karena dia menjabat dua atau lebih fungsi yang saling bertentangan seperti seseorang yang menjadi mandor dalam perusahaan tetapi juga sebagai ketua serikat pekerja.
·       Konflik yang timbul karna seseorang harus memenuhi harapan beberapa orang, misalnya seorang rektor yang harus memenuhi permintaan dekan-dekan fakultas yang berlainan atau dekan yang harus mengakomodir semua kepentingan atau kebutuhan para ketua jurusan yang juga sangat bermacama-macam.
·       Konflik yang timbul karna disampaikannya informasi yang saling bertentangan.

Adapun dampak yang terjadi karena konflik ada dua yaitu:
1.) Dampak positif
·       Organisasi memiliki dinamika dan jalinan yang akrab satu sama lain karena adanya interaksi yang intersif antar sesama anggota organisasi baik yang terlibat langsung dengan konflik maupun yang lain. Konflik antar individu atau antar kelompok yang diselesaikan dengan damai dan adil akan membawa keharmonisan dan kebersamaan yang saling menguatkan.
·       Orang-orang yang pernah berkonflik memhami akan dampak yang diakhibatkan oleh konflik yang dilakukan, sehingga pengalaman masalalu dapat dijadikan sebagai pelajaran berharga dalam bekerja. Jika harus terjadi konflik serupa, maka satu sama lain akan saling berusaha memahami dan menyelaraskan dengan lingkungan dimana berada.
·       Konflik yang muncul akhibatbketidakpuasan atau diberlakukannya peraturan tentang upah/gaji dan jenis kesejahteraan lainnya yang sebelumnya ditentang, boleh jadi oleh pihakmmanajemen pemberlakuannya ditunda atau dibatalkan.
·       Konflik yang timbul tetapi bisa diredam dan dikelola secara baik dapat melahirkan kritik-kritik membangun, cerdas, kreatif, dan inovatif demim kebaikan organisasi secara keseluruhan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
·       Anggota organisasi yang tidak terlibat secara langsung dalam suatu konflik, dapat mengambil hikmah dan bisa belajar bagaimana menghadapi perbedaan sifat, sikap, dan perilaku orang lain ditempat kerja.

 2.)  Dampak negatif
·       Komunikasi organisasi terhambat
·       Kerjasama yang sudah dan akan terjalin ajtar individundalam organisasi menjadi terhalang/terhambat
·       Aktivitas produksindan distribusi dalam perusahan menjadi terganggu, bahkan sangat mungkin dapat mengakibatkan turunnyanomset penjualan dalam kurun waktu tertentu.
·       Masing-masing pihak yang berkonflik sangat rentan tersulut adanya situasi atau hal lain yang memancing kedua belah pihak untuk berkonflik lagi.
·       Akibat terburuk bagi orang-orang yang sedang berkonflik dalam suatu organisasi adalah stress yang berkepanjangan hingga menarik diri dari pergaulan dan mungkin dari pekerjaan. Akibat akumulasi dari kondisi ini adalah yang bersangkutan berhenti atau diberhentikan  dari pekerjaan karena seringnya mangkir dari pekerjaan sehingga merugikan perusahaan.[9]
                                                                                                                      





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk dalam pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun  pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interest) dan interpretasi.
Sebab-sebab umum yang sering menimbulkan konflik dalam suatu organisasi menurut Agus Hardjana, antara lain:
·       Salah pengertian, informasi/berita yang tidak dikomunikasikan secara lengkap/utuh dapat menimbulkan konflik.
·       Perbedaan tujuan kerja karena perbedaan nilai hidup yang dianut.
·       Perebutan dan persaingan dalam hal fasilitas kerja dan suatu jabatan yang terbatas.
·       Masalah wewenang dan tanggungjawab.
·       Penafsiran yang berbeda atas suatu hal, perkara, dan peristiwa yang sama.
·       Kurangnya kerja sama antar pegawai, antara pegawai dengan pimpinan, dan antara pimpinan dengan pimpinan dapat menyebabkan hasil kerja tidak optimal.
·       Tidak menaati tata tertib yang berlaku bagi semua anggota oraganisasi.
·       Ada usaha untuk menguasai dan merugikan.
·       Pelecehan pribadi dan kedudukan.
·       Perubahan dalam sasaran dan prosedur kerja.
Jika dipandang dari sumbernya, konflik bisa timbul karena adanya beberapa sebab diantara Bentuk-bentuk konflik ada beberapa macam, yaitu:


·       Konflik pada diri individu itu sediri.
·       Konflik antar individu.
·       Konflik individu dengan institusi/kelompok.
·       Konflik antar kelompok.
·       Konflik antara kelompok dengan organisasi.
·       Konflik antar organisasi.


Adapun dampak yang terjadi karena konflik ada dua yaitu ada dampak positif da nada juga dampak negative.



DAFTAR PUSTAKA


I Ketut Widasa
manajemen perpustakaan sekolahJurnal Perpustakaan Universitas Malang. I (April 2017).
Dian Fitri Utami. “Studi Indigenous Work Conflict  Pada Karyawan Bersuku Jawa”. Journal of Social and Industrial Psychology 2 (2) (2013).
Irham Fahmi. Manajemen Kepemimpinan: Teori dan Aplikasi. (Bandung: Alfabeta), 2017.
Juharni. manajemen mutu terpadu. (Makassar: CV Sah Media).  2017. Hal. 202            Sunarta. Konflik dalam Organisasi. (Yogyakarta:UNY Press). 2010.
                                                        







[1] I Ketut Widasa, manajemen perpustakaan sekolahJurnal Perpustakaan Universitas Malang, I (April 2017) , hal.2.
[2] Manajemen Kepemimpinan: Teori dan Aplikasi.Hal. 205
[3] Dian Fitri Utami, “Studi Indigenous Work Conflict  Pada Karyawan Bersuku Jawa”. Journal of Social and Industrial Psychology 2 (2) (2013), hal. 19
[4] Irham Fahmi, Manajemen Kepemimpinan: Teori dan Aplikasi. (Bandung: Alfabeta), 2017.Hal. 205-206              
[5] Irham Fahmi, Manajemen Kepemimpinan: Teori dan Aplikasi. (Bandung: Alfabeta), 2017. Hlm. 208
[6] Juharni, manajemen mutu terpadu, (Makassar: CV Sah Media),2017. Hal. 202                  
[7] Irham Fahmi, Manajemen Kepemimpinan: Teori dan Aplikasi. (Bandung: Alfabeta), 2017. Hlm. 208-210
[8] Sunarta, Konflik dalam Organisasi, (Yogyakarta:UNY Press), 2010. Hlm. 5-9.
[9] Sunarta. Konflik dalam Organisasi. (Yogyakarta:UNY Press). 2010, hal 5-12.